Senin, 15 Desember 2014

GCG dan Perilaku Etika Prosesi Akuntansi Good Corporate Governance (GCG)


Pengertian GCGMencuatnya skandal keuangan yang melibatkan perusahaan besar seperti Enron, WorldCom, Tyco, Global Crossing dan yang terakhir AOL-Warner, menuntut peningkatan kualitas Good Corporate Governance (GCG), Soegiharto (2005:38) dalam Pratolo (2007:7) Istilah GCG secara luas telah dikenal dalam dunia usaha.  Berikut ini adalah beberapa pengertian GCG :
1) Menurut Hirata (2003) dalam Pratolo (2007:8), pengertian “CG yaitu hubungan antara perusahaan dengan pihak-pihak terkait yang terdiri atas pemegang saham, karyawan, kreditur, pesaing, pelanggan, dan lain-lain. CG merupakan mekanisme pengecekan dan pemantauan perilaku manejemen puncak”.
2) Menurut Pratolo (2007:8), “GCG adalah suatu sistem yang ada pada suatu organisasi yang memiliki tujuan untuk mencapai kinerja organisasi semaksimal mungkin dengan cara-cara yang tidak merugikan stakeholder organisasi tersebut”.
3) Tanri Abeng dalam Tjager (2003:iii) menyatakan bahwa “CG merupakan pilar utama fondasi korporasi untuk tumbuh dan berkembang dalam era persaingan global, sekaligus sebagai prasyarat berfungsinya corporate leadership yang efektif”.
4) Zaini dalam Tjager (2003:iv) menambahkan bahwa “CG sebagai sebuah governance system diharapkan dapat menumbuhkan keyakinan investor terhadap korporasi melalui mekanisme control and balance antar berbagai organ dalam korporasi, terutama antara Dewan Komisiaris dan Dewan Direksi”.
Secara sederhananya, CG diartikan sebagai suatu sistem yang berfungsi untuk mengarahkan dan mengendalikan organisasi.
b. Prinsip-prinsip dan Manfaat GCG
Prinsip-prinsip GCG merupakan kaedah, norma ataupun pedoman korporasi yang diperlukan dalam sistem pengelolaan BUMN yang sehat. Berikut ini adalah prinsip-prinsip GCG yang dimaksudkan dalam Keputusan Menteri BUMN Nomor: Kep-117/M-MBU/2002 tentang penerapan praktek GCG pada BUMN.
1)      Transparansi, Keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan. Contohnya mengemukakan informasi target produksi yang akan dicapai dalam rencana kerja dalam tahun mendatang, pencapaian laba.
2)       Kemandirian, Suatu keadaan di mana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/ tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Misalnya pada perusahaan ini sedang membangun pabrik, tetapi limbahnya tidak bertentangan dengan UU lingkungan yg dapat merugikan piha lain.
3)      AkuntabilitasKejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. Misalnya seluruh pelaku bisnis baik individu maupun kelompok tidak boleh bekerja asal jadi, setengah-setengah atau asal cukup saja, tetapi harus selalu berupaya menyelesaikan tugas dan kewajibannya dengan hasil yang bermutu tinggi.
4)      Pertanggungjawaban, Kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Contohnya dalam hal ini Komisaris, Direksi, dan jajaran manajemennya dalam menjalankan kegiatan operasi perusahaan harus sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan.
5)      Kewajaran (fairness), Keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Misalnya memperlakukan rekanan sebagai mitra, memberi perlakuan yang sama terhadap semua rekanan, memberikan pelayanan yang terbaik bagi pelanggan/pembeli, dan sebagainya.
PENGEMBANGAN CODE OF CONDUCT
Pengelolaan perusahaan tidak dapat dilepaskan dari aturan-aturan main yang selalu harus diterima dalam pergaulan sosial, baik aturan hukum maupun aturan moral atau etika. Code of Conduct merupakan pedoman bagi seluruh pelaku bisnis PT. Perkebunan dalam bersikap dan berperilaku untuk melaksanakan tugas sehari-hari dalam berinteraksi dengan rekan sekerja, mitra usaha dan pihak-pihak lainnya yang berkepentingan. Pembentukan citra yang baik terkait erat dengan perilaku perusahaan dalam berinteraksi atau berhubungan dengan para stakeholder. Perilaku perusahaan secara nyata tercermin pada perilaku pelaku bisnisnya. Dalam mengatur perilaku inilah, perusahaan perlu menyatakan secara tertulis nilai-nilai etika yang menjadi kebijakan dan standar perilaku yang diharapkan atau bahkan diwajibkan bagi setiap pelaku bisnisnya. Pernyataan dan pengkomunukasian nilai-nilai tersebut dituangkan dalam code of conduct. Dengan dilaksanakannya komitmen diharapkan akan menciptakan nilai tambah tidak saja bagi perusahaan, tetapi juga bagi pelaku bisnis sehingga kepentingan pelaku bisnis dapat diselaraskan dengan tujuan perusahaan.
Untuk mendukung terciptanya tujuan perusahaan maka pelaku bisnis akan mengimplementasikan komitmen tersebut dalam pengelolaan perusahaan sehari-hari, yaitu:
a. Pelaku bisnis akan bekerja secara profosionalPelaku bisnis PTPN IV (Persero) sama-sama bertindak untuk bekerja secara professional dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Professional dalam hal ini, artinya pelaku bisnis harus dapat memahami, menghayati dan melaksanakan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab masing-masing dengan memanfaatkan keahlian maupun potensi diri pribadi untuk mencapai tujuan perusahaan secara efektif, efesien, dan optimal.
b. Pelaku bisnis bekerja kreatif dan inovatifPelaku bisnis juga bertekad untuk bekerja secara kreatif dan inovatif dalam menjalankan tugas masing-masing. Kreatifitas dan inovasi dapat dimiliki seseorang dengan cara belajar sendiri dari buku, dan pengalaman sendiri atas praktek bisnis yang sehat serta belajar dari pengetahuan/pengalaman orang lain.
Pelaku bisnis mendukung penerapan Good Corporate GovernancePenerapan Good Corporate Governance (GCG) akan mendorong perusahaan untuk menghasilkan kinerja yang unggul dan nilai tambah ekonomi pemegang saham dan para stakeholder, termasuk pelaku bisinis.Penerapan prinsip-prinsip GCG bukan hanya di Kantor Direksi tetapi meliputi seluruh jajaran perusahaan baik pada Bagian, Kantor Group Unit Usaha.
Prinsip-prinsip GCG akan tercermin dalam imolementasi Code of Conduct (Pedoman Perilaku).  Karena penerapan GCG akan berdampak kepada peningkatan nilai termasuk bagi pelaku bisnis, maka seluruh pelaku bisnis perusahaan sepakat dan bertekad mendukung GCG pada PTPN IV (Persero).
Terdapat enam hal tujuan dari penerapan GCG pada BUMN
1) Memaksimalkan nilai BUMN dengan cara meningkatkan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dapat dipercaya, bertanggung jawab, dan adil agar perusahaan memiliki daya saing yang kuat, baik secara nasional maupun internasional.
2) Mendorong pengelolaan BUMN secara profesional, transparan dan efisien, serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian organ.
3) Mendorong agar organ dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta kesadaran akan adanya tanggung jawab sosial BUMN terhadap stakeholder maupun kelestarian lingkungan di sekitar BUMN.
4) Meningkatkan kontribusi BUMN dalam perekonomian nasional.
5) meningkatkan iklim investasi nasional.
6) Mensukseskan program privatisasi.
Adapun keuntungan yang diperoleh dengan menerapkan Corporate Governance pada perusahaan adalah:
1) lebih mudah meningkatkan modal
2) mengurangi biaya modal
3) meningkatkan kinerja perusahaan dan kinerja keuangan
4) memberikan dampak yang baik terhadap harga saham.
Penerapan GCG dapat meningkatkan nilai perusahaan, dengan meningkatkan kinerja keuangan, mengurangi risiko yang mungkin dilakukan oleh dewan dengan keputusan yang menguntungkan diri sendiri, dan umumnya Corporate Governance dapat meningkatkan kepercayaan investor. Corporate Governance yang buruk menurunkan tingkat kepercayaan investor, lemahnya praktik GCG merupakan salah satu faktor yang memperpanjang krisi ekonomi di Negara kita.Pemerintah melalui kantor kementrian BUMN maupun otoritas pasar modal dalam hal ini Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) dan direksi Bursa Efek Indonesia (pada saat itu masih Bursa Efek Jakarta) telah mewajibkan BUMN dan Emiten untuk menerapkan kebijakan GCG yang bertujuan menciptakan kepastian hukum yang bermuara kepada perlindungan investor dan masyarakat. Focus utama penerapan GCG saat ini adalah di lingkungan BUMN dan perusahaan terbuka, namun kenyataannya konsep GCG masih belum dipahami dengan baik oleh sebagian besar pelaku usaha.Penerapan GCG di organisasi publik, bank maupun BUMN, dirahapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat, untuk mengantisipasi persaingan yang ketat di era pasar bebas, tanggung jawab sosial perusahaan dan etika bisnis. Suatu bisnis tidak hanya dijalankan dengan modal uang saja, tetapi juga dengan tanggung jawab dan moralitas perusahaan terhadap stakeholders dan masyarakat. Penerapan GCG tidak dapat dilepaskan dari moral dan etika para pelaku bisnis, yang selayaknya dituangkan dalam suatu standar baku di masing-masing perusahaan yang disebut Corporate Code of Conduct.Privatisasi memungkinkan penerapan GCG dengan lebih baik dan konsisten di lingkungan BUMN, yang pada gilirannya menumbuhkan keyakinan investor kepada BUMN. Bagi Indonesia, dengan aktivitas BUMN yang hampir menyentuh berbagai sektor ekonomi nasional, tumbuhnya keyakinan investor terhadap BUMN akan sangat berpengaruh secara keseleruhan.Privatisasi memungkinkan penerapan GCG dengan lebih baik dan konsisten di lingkungan BUMN, yang pada gilirannya menumbuhkan keyakinan investor kepada BUMN. Bagi Indonesia, dengan aktivitas BUMN yang hampir menyentuh berbagai sektor ekonomi nasional, tumbuhnya keyakinan investor terhadap BUMN akan sangat berpengaruh secara keseleruhan.
Komite Nasional mengenai kebijakan Corporate Governance (National Committee on Corporate Governance / NCCG), Agustus 1999 menidentifikasi 13 bidang penting yang memerlukan pembaharuan, menyusun dan menerbitkan Pedoman Good Corporate Governance (Code for Good Corporate Governance), (Maret 2001) yang dapat digunakan oleh korporasi dalam mengembangkan Corporate Governance, berisi :
1. Hak dan tanggung jawab pemegang saham.
2. Fungsi, tugas dan kewajiban dewan komisaris.
3. Fungsi, tugas dan kewajiban dewan direksi.
4. Sistem audit, termasuk peran auditor eksternal dan komite audit.
5. Fungsi, tugas dan kewajiban sekretaris perusahaan.
6. Hak stakeholders, dan akses kepada informasi yang relevan.
7. Keterbukaan yang tepat waktu dan akurat.
8. Kewajiban para komisaris dan direksi untuk menjaga kerahasiaan.
9. Larangan penyalahgunaan informasi oleh orang dalam.
10. Etika berusaha.
11. Ketidakpatutan pemberian donasi politik.
12. Kepatuhan pada peraturan perundang-undangan tentang proteksi kesehatan, keselamatan kerja dan pelestarian lingkungan.
13. Kesempatan kerja yang sama bagi para karyawan.
Selain itu, Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) merupakan salah satu institusi yang aktif dan representative, (didirikan tahun 2000), diprakarsai 5 asosiasi bisnis, yaitu : Asosiasi Emiten Indonesia (AEI), Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Manajemen (IAI-KAM), Ikatan Netherlands Association (INA/Perkumpilan Indonesia Belanda), Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI). FCGI bertujuan menjebatani kesenjangan antara praktik bisnis sekarang dengan international best practice, dan memberi informasi tentang Corporate Governance. Tantangn yang dihadapi oleh dunia bisnis akan semakin beragam bentuknya, dan tantangan tersebut akan jauh lebih nyata pada masa mendatang, di mana dunia semakin tidak bisa dibatasi lagi secara nyata dengan sekat, karena perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih
http://nikensetiariniii.blogspot.com/2014/10/gcg-dan-perilaku-etika-dalam-profesi.html


Tugas 2 - Kecurangan (Fraud) dalam Laporan Keuangan


Definisi dan Jenis – jenis Fraud
Definisi Pengawasan Intern yang terkandung dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah adalah seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolak ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik. Pada PP Pasal 2 ayat 1 tercantum bahwa pengendalian penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dilakukan untuk mencapai pengelolaan keuangan negara yang efektif, efisien, transparan dan akuntabel. Maka dapat disimpulkan bahwa sistem pengendalian internal pemerintah memiliki tujuan untuk mencapai pengelolaan keuangan baik di pemerintah daerah maupun pemerintah pusat sehingga dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Kegagalan pemerintah dalam mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan dapat diakibatkan oleh beberapa hal antara lain penyimpangan kebijakan dan penyimpangan yang diakibatkan oleh kecurangan (fraud). Penyimpangan kebijakan dilakukan oleh manajemen puncak terutama untuk mencapai tujuan tertentu, dengan cara membuat kebijakan yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sedangkan penyimpangan kecurangan (fraud) dapat dilakukan baik oleh manajemen puncak maupun pegawai lainnya dengan untuk mendapatkan keuntungan, dengan cara melakukan tindakan-tindakan kriminal seperti korupsi, kolusi, penipuan, dan lain sebagainya.
Bagaimana cara mengatasi fraud adalah tugas bersama dari suatu organisasi pemerintahan dan sistem pengawasan internalnya. Pengenalan akan kecurangan dan dampaknya menjadi hal yang penting untuk diketahui seluaruh staf pegawai hingga manajemen puncak.
Sebagai perbandingan, pada suatu perusahaan di bidang manufaktur, perusahaan tersebut mengalami kerugian akibat kecurangan pegawai mencapai Rp. 100 juta/tahun. Jika keuntungan rata-rata perusahaan tersebut adalah 10% dari penjualan maka perusahaan tersebut harus kehilangan keuntungan dari penjualan sebesar Rp. 1.000 juta/tahun. Bayangkan penjualan perusahaan tersebut menjadi tidak berguna akibat adanya kerugian akibat kecurangan.
Demikian juga dengan kerugian atau kebocoran keuangan negara yang terjadi akibat adanya fraud. Hal ini dapat berakibat pada alokasi dana yang hilang yang telah dikumpulkan dari berbagai pendapatan negara terutama pajak yang telah didapatkan dari masyarakat. Dengan rata-rata setiap penduduk membayar pajak sekitar 15%-20% dari penghasilannya maka dapat dibayangkan kerugian negara berdampak pula pada pendapatan penduduk yang harus ditingkatkan pemerintah. Padahal untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dibutuhkan sarana dan prasarana yang disiapkan oleh pemerintah yang didanai dari pajak di atas. Dan yang lebih utama adalah tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan menjadi berkurang, termasuk pula investasi dari luar negeri berkurang, sehingga kondisi makro keuangan pemerintah menjadi terganggu pula.
Kesadaran untuk melakukan tindakan anti fraud dapat diawali dengan memberikan pengertian yang lebih tentang kerugian dan dampak fraud. Setelah itu, seiring dengan kesadaran yang meningkat, maka diupayakan untuk menghilangkan penyebab fraud. Kemudian melakukan tindakan hukuman dan penghargaan untuk lebih mempercepat peningkatan kesadaran dan budaya kerja tanpa fraud.
Penyebab terjadinya fraud adalah motivasi, sarana dan kesempatan sebagai berikut:
- Motivasi : adalah mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri dan atau suaru organisasi. Alasan pribadi seperti masalah keuangan dapat menjadi motivasi untuk melakukan kecurangan. Untuk suatu organisasi, fraud pun dapat dilakukan untuk mendapatkan keuntungan atau untuk mendapatkan apresiasi yang positif walaupun pekerjaan yang dilakukan tidak baik, misalnya kolusi antara kontraktor/konsultan dengan panitia pengadaan barang/jasa,
- Sarana : mencakup seluruh media yang dapat digunakan untuk melakukan kecurangan, misalnya dokumen kontrak/lelang yang diatur, transaksi keuangan dilakukan secara tunai dan tidak menggunakan pencatatan yang baik, dan lain sebagainya.
- Kesempatan : karena kurangnya pengawasan internal dan pemahaman tentang aturan dapat menjadi ruang terjadinya kecurangan.
Menurut Robert Cockerall (auditor Ernst & Young) dalam makalahnya “Forensic Accounting fundamental : Introduction to the investigations” dinyatakan bahwa lingkungan profil fraud mencakup beberapa hal yaitu motivasi, kesempatan, tujuan/objek fraud, indikator, metode dan konsekuensi fraud. Motivasi dan kesempatan memiliki pengertian yang sama dengan definisi sebelumnya. Tujuan/objek fraud adalah sarana yang digunakan untuk mencapai motivasi kecurangan di atas. Indikator fraud mengandung pengertian adanya gejala-gejala yang merujuk kepada pembuktian kecurangan. Metode fraud adalah cara-cara yang dilakukan untuk melakukan kecurangan. Sedangkan konsekuensi fraud adalah dampak kecurangan yang terjadi pada organisasi tersebut. Pada organisasi pemerintahan khususnya pada lingkup kegiatan pekerjaan umum maka dapat diberikan contoh sebagai berikut :

Seorang pengawas proyek memiliki motivasi kecurangan adalah karena kesulitan keuangan keluarga. Pegawai tersebut menggunakan kesempatan sebagai seorang pengawas proyek sesuai kewenangannya. Objek yang sesuai dengan kewenangannya sebagai pengawas adalah laporan pengawasan pekerjaan. Caranya adalah dengan melakukan manipulasi data yaitu menyetujui progress pekerjaan walaupun tidak sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan disertai permintaan dana kepada pihak kontraktor. Indikasi yang didapatkan adalah perbedaan spesifikasi pekerjaan. Konsekuensi dari perbuatan pegawai tersebut kepada organisasi proyek adalah ketidaksesuaian mutu pekerjaan.
Berikut ini adalah jenis fraud berdasarkan subjek atau pelaku, sebagai berikut :
-employee fraud (kecurangan pegawai) : kecurangan yang dilakukan oleh pegawai dalam suatu organisasi kerja,
-management fraud (kecurangan manajemen) : kecurangan yang dilakukan oleh pihak manajemen dengan menggunakan laporan keuangan/transaksi keuangan sebagai sarana fraud, biasanya dilakukan untuk mencurangi pemegang kepentingan (stakeholders) yang terkait organisasinya.
-customer fraud : kecurangan yang dilakukan oleh konsumen/pelanggan, misalnya kecurangan oleh pihak kontraktor/konsultan terhadap satuan kerja proyek.
-e-commerce fraud (kecurangan melalui internet) : kecurangan yang dilakukan akibat adanya transaksi melalui internet (misalnya pengadaan lelang melalui internet).
Cara Mengatasi Fraud
Fraud harus dapat dikontrol dan dijaga, sehingga tidak semakin berkembang dan merugikan organisasi pemerintahan tersebut. Cara mengontrol dan menjaga agar tidak terjadi fraud adalah sebagai berikut :

-mengendalikan suasana kerja yang baik di lingkungan kerja, antara lain dengan menanamkan etika kerja dan peningkatan kesejahteraan pekerja/pegawai.
-menghilangkan kesempatan untuk melakukan fraud dengan cara sistem pengawasan internal yang ketat,
Mengendalikan suasana kerja yang baik adalah merupakan tanggung jawab pimpinan disertai kerja sama dengan anggota organisasi tersebut. Lingkungan pengendalian merupakan salah satu unsur yang harus diciptakan dan dipelihara agar timbul perilaku positif dan kondusif untuk penerapan sistem pengendalian intern dalam lingkungan kerja, melalui beberapa cara yaitu penegakan integritas dan etika, komitmen terhadap kompetensi, kepemimpinan yang kondusif, pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan, pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat, penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber daya manusia, perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif dan hubungan kerja yang baik dengan instansi pemeritah terkait. Hal tersebut tercantum dalam PP No. 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.
Pengawasan internal yang ketat diharapkan mampu mengidentifikasikan dan meredam gejala fraud. Bentuk pengawasan internal yang ketat adalah dengan audit kinerja, audit investigatif dan audit laporan keuangan sesuai Standar Audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (PERMEN PAN No. PER/05/M.PAN/03/2008) dan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN).
Audit kinerja merupakan proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi terhadap pengelolaan keuangan negara, dalam hal ini adalah penyusunan/pelaksanaan anggaran; penerimaan, penyaluran dan penggunaan dana; serta pengelolaan aset dan kewajiban, dan pelaksanaan tugas dan fungsi auditi yang terdiri atas aspek ekonomis, efisiensi dan efektivitas.
Audit dengan tujuan tertentu adalah audit untuk pemeriksaan khusus meliputi audit investigatif, audit mutu pengawasan internal, dan hal lain di luar bidang pengelolaan keuangan negara. Dalam menangani permasalahan fraud maka audit investigatif digunakan untuk membuktikan kebenaran indikasi terjadinya perbuatan kecurangan yang meruigkan negara dan atau potensi negara. Dalam pelaksanaan pemeriksaan khusus investigatif maka terungkaplah seluruh fakta dan proses terhadap indikasi fraud yang bertetnangan dengan peraturan. Namun pengungkapan bukti menjadi kendala terutama jika perbuatan kecurangan dilakukan secara melembaga, sehingga dibutuhkan cara pengungkapan fakta disertai bukti yang cukup. Berbagai cara investigasi dilakukan antara lain dengan wawancara langsung dengan auditi, pemeriksaan dokumen, masukan/input dari whistle blower (saksi pemberi informasi), dan teknik interogasi yang tepat. Investigasi terhadap fraud dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut menemukan indikasi awal bahwa telah terjadi fraud, biasanya identifikasi terhadap indikasi ini dilakukan oleh auditor yang telah berpengalaman, dengan melihat gejala dan bukti-bukti awal. Kemudian dilakukan investigasi untuk membuktikan prediksi dan hipotesis tersebut. Pedoman pelaksanaan pemeriksaan khusus, meliputi pula di dalamnya mengenai audit investigasi, di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum sendiri sudah ditetapkan melalui PERMEN PU No. 8 tahun 2008.
Sedangkan audit atas laporan keuangan adalah audit yang bertujuan memberikan opini atas kewajaran penyajian laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang diterima umum Pemberian opini didasarkan atas hasil pengelolaan aset negara serta penggunaan keuangan negara yang baik dan sesuai kenyataan. Audit atas laporan keuangan dapat menjadi input bagi proses audit investigatif, terutama dalam hal mengidentifikasikan indikasi terjadinya fraud yang dilakukan oleh manajemen puncak dan atau dilakukan secara melembaga.
Cara menemukan indikasi fraud dengan menggunakan audit laporan keuangan disebut dengan sistem akuntansi forensik (forensic accounting). Sistem ini dapat mengungkap fakta terjadinya kecurangan dengan mengungkap transaksi-transaksi keuangan yang mencurigakan pada laporan keuangan dan mengembangkan hasil temuan tersebut menjadi sebuah alat bukti.
Perkembangan terhadap sistem akuntansi forensik ini diharapkan mampu mengatasi kerugian dan kebocoran keuangan negara. Sistem ini awalnya berkembang semenjak kasus perusahaan-perusahaan swasta raksasa dunia yang ternyata melakukan kecurangan laporan keuangan. Kasus perusahaan WorldCom dan Enron Corp., merupakan kasus kebangkrutan terbesar yang terkait dengan kecurangan manajemen puncak dengan menggunakan laporan keuangan sebagai media/sarana fraud. WorldCom mengalami kerugian akibat fraud sebesar USD 102 Milyar dan Enron Corp mengalami kerugian sebesar USD 63 Milyar. Setelah kasus tersebut, sisrtem akuntansi forensik pun dikembangkan, tidak hanya oleh perusahaan swasta. Sistem ini pun dapat dikembangkan untuk mendeteksi adanya kecurangan dan penyalahgunaan keuangan negara.
Kata forensik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah cabang ilmu kedokteran yg berhubungan dng penerapan fakta-fakta medis pd masalah-masalah hukum, atau ilmu bedah yg berkaitan dengan penentuan identitas mayat seseorang yg ada kaitannya dng kehakiman dan peradilan. Istilah forensik sendiri pada Bahasa Indonesia cenderung masih jarang digunakan dan hanya digunakan untuk ilmu medis dan pembuktian hukum. Sementara menurut Bologna and Linquist definisi akuntansi forensik adalah sbb :
“Forensic and investigative accounting is the application of financial skills and an investigative mentality to unresolved issues, conducted within the context of the rules of evidence. As a discipline, it encompasses financial expertise, fraud knowledge, and a sound knowledge and understanding of business reality and the working of the legal system. Its development has been primarily achieved through on-the-job training as well as experience with investigating officers and legal counsel.”
Atau jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut :

“Akuntansi forensik dan investigasi adalah aplikasi keahlian keuangan dan mentalitas penyelidikan untuk menyelesaikan isu yang sesuai dengan konteks peraturan pembuktian. Sebagai suatu disiplin ilmu, hal tersebut membutuhkan keahlian keuangan, pengetahuan akan fraud, dan pengetahuan serta pengertian tentang bisnis (sistem) riil dan hukum. Hal tersebut dapat berkembang melalui kerja praktek dan pengalaman dengan masalah investigasi dan hukum.”
Hal yang membedakan antara pemeriksaan laporan keuangan biasa dengan sistem akuntansi forensik ini adalah pada besarnya material yang mempengaruhinya. Umumnya untuk audit laporan keuangan biasa, material yang berpengaruh adalah jenis pendapatan dan pengeluaran yang bernominnal besar, sedangkan yang kecil kadang diabaikan dalam penentuan indikasi kecurangan. Pada akuntansi forensik, indikasi kecurangan tidak berdasarkan pada nominal transaksi yang besar, namun melihat pada jenis pendapatan dan pengeluaran yang mencurigakan. Pemeriksaan akuntansi forensik tidak dapat dipisahkan dari proses investigasi. Karena untuk mengungkap hal yang kecil namun mencurigakan menjadi suatu alat bukti dibutuhkan usaha yang tidak mudah, sehingga proses audit laporan keuangan akan disertai pula oleh proses penyelidikan terhadap hal tersebut.
Selain menggunakan sistem audit yang ada, penggunaan sistem informasi juga dapat dilakukan untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya fraud. Penggunaan sistem informasi ini membutuhkan pengetahuan statistik dan pengelolaan data sehingga kecenderungan terjadinya fraud dapat diatasi. Sistem informasi ini merupakan jembatan penghubung antara pengalaman dan pengetahuan terhadap audit dan fraud. Kurangnya pengalaman auditor dapat diatasi dengan sistem informasi atau data base yang baik, selain peningkatan kompetensi melalui pendidikan dan pelatihan.
Dengan adanya data historis yang cukup mengenai fraud maka diharapkan dapat diketahui motivasi, kesempatan, objek, indikasi, metode dan konsekuensi kecurangan, atau dengan kata lain didapatkan profil fraud/kecurangan yang kemungkinan dapat terjadi kembali.
Contohnya dari data yang telah dikumpulkan maka didapatkan profil kecurangan sebagai berikut motivasi kecurangan pegawai adalah memperkaya diri, kesempatan kecurangan adalah melalui proses lelang, objek kecurangan yaitu paket pengadaan barang/jasa, metode kecurangan adalah dengan pemecahan paket pengadaan agar proses pengadaan dilakukan dengan penunjukan langsung atau pelelangan terbatas. Indikasi kecurangan adalah adanya perubahan nilai dan kegiatan proyek. Sementara konsekuensi yang diterima organisasi adalah ketidakpercayaan pihak penyedia jasa lain kepada panitia pengadaan barang/jasa.
Dengan penggunaan data base maka proses deteksi pada kecurangan menjadi lebih cepat. Proses deteksi kecurangan yang biasanya diawali dengan audit kinerja secara umum kemudian baru ditemukan adanya indikasi kecurangan, berkembang lagi menjadi investigasi dan terakhir menemukan bukti, kini prosesnya dapat lebih cepat, yaitu menemukan kemungkinan kecurangan yang dapat terjadi berdasarkan data base, untuk kemudian di-evaluasi apakah kemungkinan tersebut terjadi atau tidak pada kegiatan yang di-audit.
Penggunaan sistem informasi hanya merupakan cara deteksi awal, untuk kemudian proses investigasi dilakukan sesuai teknik audit investigasi.
Kesimpulan
Fraud adalah bentuk kecurangan untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun lembaga/organisasi. Kecurangan yang bersifat lembaga lebih kompleks dibandingkan dengan kecurangan yang dilakukan oleh pribadi. Kecurangan/fraud mengakibatkan kerugian yang besar. Dalam pemerintahan, kerugian yang diterima bukan hanya kehilangan atau kebocoran uang negara, namun juga berakibat pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah serta menurunnya tingkat investasi. Cara mengatasi fraud terbagi atas 3 tindakan yaitu tindakan preventif, tindakan deteksi dan tindakan investigasi. Tindakan preventif merupakan tanggung jawab bersama antara manajemen puncak dengan stafnya, untuk menciptakan dan mengembangkan budaya kerja yang beretika dan lingkungan kerja yang baik. Tindakan deteksi adalah cara mengidentifikasi kecurangan yang terjadi. Metode yang digunakan dalam deteksi atas fraud dibagi atas metode konvensional dan metode sistem informasi. Metode konvensional adalah dengan cara menemukan indikasi setelah melakukan pemeriksaan secara menyeluruh terlebih dahulu. Salah satu cara menemukan indikasi kecurangan, terutama yang dilakukan secara lembaga, adalah dengan menggunakan sistem Akuntansi forensik, yaitu dengan cara memeriksa transaksi yang mencurigakan pada laporan keuangan, baik nominal yang besar maupun yang kecil. Sementara metode sistem informasi adalah dengan cara melakukan perbandingan profil kecurangan yang dapat terjadi, meliputi motivasi, kesempatan, objek fraud, metode fraud, indikasi fraud dan konsekuensi yang diterima organisasi. Tindakan investigasi adalah proses penyelidikan sehingga didapatkan pembuktian yang cukup. Tindakan-tindakan pengawasan tersebut adalah cara untuk mengatasi kecurangan sehingga kehilangan keuangan negara dapat terus ditekan dan pada akhirnya tercapai tujuan untuk menghilangkan kebocoran dan kerugian negara.

Referensi
http://marbunwis.blogspot.com/2010/06/analisa-dan-cara-mengatasi-fraud.html
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, Peraturan Pemerintah RI No. 60 tahun 2008, 2008
Standar Audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah, Permen PAN No. PER/05/M.PAN/03/2008, 2008
Pedoman Pelaksanaan Pemeriksaan Khusus di Lingkungan Departemen Pekerjaan Umum, Permen PU No.08/PRT/M/2008, 2008
Forensic Accounting: Public Acceptance towards Occurrence of Fraud Detection, Adrian Nicholas Koh, Lawrence Arokiasamy, Cristal Lee Ah Suat, KBU International College, Malaysia, 2009
Forensic accounting fundamentals: introduction to investigations, Robert Cockerall, Ernst & Young, 2007
New Frontiers: Training Forensic Accountants Within The Accounting Program, Vinita Ramaswamy, University of St. Thomas, Houston, 2007

Strategic Fraud Detection: A Technology-Based Model, Conan C. Albrecht, W. Steve Albrecht

Jumat, 10 Oktober 2014

2. Etika, Norma dan Hukum Dalam Praktik Akuntansi


2. Etika, Norma dan Hukum Dalam Praktik Akuntansi
Kode Etik IAI
Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik yang berpraktik sebagai akuntan publik, bekerja di lingkungan dunia usaha, pada instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan tanggung-jawab profesionalnya.
Tujuan profesi akuntansi adalah memenuhi tanggung-jawabnya dengan standar profesionalisme tertinggi, mencapai tingkat kinerja tertinggi, dengan orientasi kepada kepentingan publik. Untuk mencapai tujuan tersebut terdapat empat kebutuhan dasar yang harus dipenuhi:
  • Kredibilitas
Masyarakat membutuhkan kredibilitas informasi dan sistem informasi.
  • Profesionalisme
Diperlukan individu yang dengan jelas dapat diidentifikasikan oleh pemakai jasa Akuntan sebagai profesional di bidang akuntansi.
  • Kualitas Jasa
Terdapatnya keyakinan bahwa semua jasa yang diperoleh dari akuntan diberikan dengan standar kinerja tertinggi.
  • Kepercayaan
Pemakai jasa akuntan harus dapat merasa yakin bahwa terdapat kerangka etika profesional yang melandasi pemberian jasa oleh akuntan.
Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia terdiri dari tiga bagian:
1.      Prinsip Etika,
2.      Aturan Etika, dan
3.      Interpretasi Aturan Etika.
Kepatuhan
Kepatuhan terhadap Kode Etik, seperti juga dengan semua standar dalam masyarakat terbuka, tergantung terutama sekali pada pemahaman dan tindakan sukarela anggota. Di samping itu, kepatuhan anggota juga ditentukan oleh adanya pemaksaan oleh sesama anggota dan oleh opini publik, dan pada akhirnya oleh adanya mekanisme pemrosesan pelanggaran Kode Etik oleh organisasi, apabila diperlukan, terhadap anggota yang tidak menaatinya.

Prinsip Etika Profesi
            Keanggotaan dalam Ikatan Akuntan Indonesia bersifat sukarela, Dengan menjadi anggota, seorang akuntan mempunyai kewajiban untuk menjaga disiplin diri di atas dan melebihi yang disyaratkan oleh hukum clan peraturan
Prinsip Pertama – Tanggung Jawab Profesi
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai professional, setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan professional dalam semua kegiatan yang harus dilakukannya.
Sebagai profesional, anggota mempunyai peran penting dalam masyarakat. Sejalan dengan peranan tersebut, anggota mempunyai tanggung jawab kepada semua pemakai jasa profesional mereka. Anggota juga harus selalu bertanggung jawab untuk bekerja sarna dengan sesama anggota untuk mengembangkan profesi akuntansi, memelihara kepercayaan masyarakat, dan menjalankan tanggung-jawab profesi dalam mengatur dirinya sendiri. Usaha kolektif semua anggota diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan tradisi profesi.
Prinsip Kedua – Kepentingan Publik
Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukkan  komitmen atas profesionalisme.
1.      Satu ciri utama dari suatu profesi adalah penerimaan tanggung jawab kepada publik. Profesi akuntan memegang peranan yang penting di masyarakat, di mana publik dari profesi akuntan yang terdiri dari klien, pemberi kredit, pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor, dunia bisnis dan keuangan, dan pihak lainnya bergantung kepada obyektivitas dan integritas akuntan dalam memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib.
Ketergantungan ini menimbulkan tanggung jawab akuntan terhadap kepentingan publik. Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentingan masyarakat dan institusi yang dilayani anggota secara keseluruhan. Ketergantungan ini menyebabkan sikap dan tingkah laku akuntan dalam menyediakan jasanya mempengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat dan negara.
2.      Profesi akuntan dapat tetap berada pada posisi yang penting ini hanya dengan terus menerus memberikan jasa yang unik ini pada tingkat yang menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat dipegang teguh. Kepentingan utama profesi akuntan adalah untuk membuat pemakai jasa akuntan paham bahwa jasa akuntan dilakukan dengan tingkat prestasi tertinggi dan sesuai dengan persyaratan etika yang diperlukan untuk mencapai tingkat prestasi tersebut.
3.      Dalam mememuhi tanggung jawab profesionalnya, anggota mungkin menghadapi tekanan yang saling berbenturan dengan pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam mengatasi benturan ini, anggota harus bertindak dengan penuh integritas, dengan suatu keyakinan bahwa apabila anggota memenuhi kewajibannya kepada publik, maka kepentingan penerima jasa terlayani dengan sebaik-baiknya.
4.      Mereka yang memperoleh pelayanan dari anggota mengharapkan anggota untuk memenuhi tanggungjawabnya dengan integritas, obyektivitas, keseksamaan profesional, dan kepentingan untuk melayani publik. Anggota diharapkan untuk memberikan jasa berkualitas, mengenakan imbalan jasa yang pantas, serta menawarkan berbagai jasa, semuanya dilakukan dengan tingkat profesionalisme yang konsisten dengan Prinsip Etika Profesi ini.
5.      Semua anggota mengikat dirinya untuk menghormati kepercayaan publik. Atas kepercayaan yang diberikan publik kepadanya, anggota harus secara terus-menerus menunjukkan dedikasi mereka untuk mencapai profesionalisme yang tinggi.
6.      Tanggung-jawab seorang akuntan tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan klien individual atau pemberi kerja. Dalam melaksanakan tugasnya seorang akuntan harus mengikuti standar profesi yang dititikberatkan pada kepentingan publik, misalnya:
·         auditor independen membantu memelihara integritas dan efisiensi dari laporan keuangan yang disajikan kepada lembaga keuangan untuk mendukung pemberian pinjaman dan kepada pemegang saham untuk memperoleh modal;
·         eksekutif keuangan bekerja di berbagai bidang akuntansi manajemen dalam organisasi dan memberikan kontribusi terhadap efisiensi dan efektivitas dari penggunaan sumber daya organisasi;
·         auditor intern memberikan keyakinan ten tang sistem pengendalian internal yang baik untuk meningkatkan keandalan informasi keuangan dari pemberi kerja kepada pihak luar.
·         ahli pajak membantu membangun kepercayaan dan efisiensi serta penerapan yang adil dari sistem pajak; dan
·         konsultan manajemen mempunyai tanggung jawab terhadap kepentingan umum dalam membantu pembuatan keputusan manajemen yang baik.
Prinsip Ketiga – Integritas
Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin.
1.      Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik dan merupakan patokan (benchmark) bagi anggota dalam menguji semua keputusan yang diambilnya.
2.      Integritas mengharuskan seorang anggota untuk, antara lain, bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak dapat menerima kecurangan atau peniadaan prinsip.
3.      Integritas diukur dalam bentuk apa yang benar dan adil. Dalam hal tidak terdapat aturan, standar, panduan khusus atau dalam menghadapi pendapat yang bertentangan, anggota harus menguji keputusan atau perbuatannya dengan bertanya apakah anggota telah melakukan apa yang seorang berintegritas akan lakukan dan apakah anggota telah menjaga integritas dirinya. Integritas mengharuskan anggota untuk menaati baik bentuk maupun jiwa standar teknis dan etika.
4.      Integritas juga mengharuskan anggota untuk mengikuti prinsip obyektivitas dan kehati-hatian profesional.
Prinsip Keempat – Obyektivitas
Setiap anggota harus menjaga obyektivitas dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.
1.      Obyektivitas adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota. Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau berada di bawah pengaruh pihak lain.
2.      Anggota bekerja dalam berbagai kapasitas yang berbeda dan harus menunjukkan obyektivitas mereka dalam berbagai situasi. Anggota dalam praktik publik memberikan jasa atestasi, perpajakan, serta konsultasi manajemen. Anggota yang lain menyiapkan laporan keuangan sebagai seorang bawahan, melakukan jasa audit internal dan bekerja dalam kapasitas keuangan dan manajemennya di industri, pendidikan dan pemerintahan. Mereka juga mendidik dan melatih orang-orang yang ingin masuk ke dalam profesi. Apapun jasa atau kapasitasnya, anggota harus melindungi integritas pekerjaannya dan memelihara obyektivitas.
3.      Dalam menghadapi situasi dan praktik yang secara spesifik berhubungan dengan aturan etika sehubungan dengan obyektivitas, pertimbangan yang cukup harus diberikan terhadap faktor-faktor berikut:
·         Adakalanya anggota dihadapkan kepada situasi yang memungkinkan mereka menerima tekanan-tekanan yang diberikan kepadanya. Tekanan ini dapat mengganggu obyektivitasnya.
Adalah tidak praktis untuk menyatakan dan menggambarkan semua situasi di mana tekanan-tekanan ini mungkin terjadi. Ukuran kewajaran (reasonableness) harus digunakan dalam menentukan standar untuk mengindentifikasi hubungan yang mungkin atau kelihatan dapat merusak obyektivitas anggota.
·         Hubungan-hubungan yang memungkinkan prasangka, bias atau pengaruh lainnya untuk melanggar obyektivitas harus dihindari.
Anggota memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa orang-orang yang terilbat dalam pemberian jasa profesional mematuhi prinsip obyektivitas. Anggota tidak boleh menerima atau menawarkan hadiah atau entertainment yang dipercaya dapat menimbulkan pengaruh yang tidak pantas terhadap pertimbangan profesional mereka atau terhadap orang-orang yang berhubungan dengan mereka. Anggota harus menghindari situasi-situasi yang dapat membuat posisi profesional mereka ternoda.
Prinsip Kelima – Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan kehati-hatian, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan ketrampilan professional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa professional yang kompeten berdasarkan perkembangan praktik, legislasi, dan teknik yang paling mutakhir.
  1. Kehati-hatian profesional mengharuskan anggota untuk memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan kompetensi dan ketekunan. Hal ini mengandung arti bahwa anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan jasa profesional dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuannya, derni kepentingan pengguna jasa dan konsisten dengan tanggung-jawab profesi kepada publik.
  2. Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman. Anggota seyogyanya tidak menggambarkan dirinya mernilki keahlian atau pengalaman yang tidak mereka punyai. Dalam semua penugasan dan dalam semua tanggung-jawabnya, setiap anggota harus melakukan upaya untuk mencapai tingkatan kompetensi yang akan meyakinkan bahwa kualitas jasa yang diberikan memenuhi tingkatan profesionalisme tinggi seperti disyaratkan oleh Prinsip Etika. Kompetensi profesional dapat dibagi menjadi dua fase yang terpisah:
a.       Pencapaian Kompetensi Profesional
Pencapaian kompetensi profesional pada awalnya memerlukan standar pendidikan umum yang tinggi, diikuti oleh pendidikan khusus, pelatihan dan ujian profesional dalam subyek-subyek yang relevan, dan pengalaman kerja. Hal ini harus menjadi pola pengembangan yang normal untuk anggota.
b.      Pemeliharaan Kompetensi Profesional
·         Kompetensi harus dipelihara dan dijaga melalui kornitmen untuk belajar dan melakukan peningkatan profesional secara berkesinambungan selama kehidupan profesional anggota.
·         Pemeliharaan kompetensi profesional memerlukan kesadaran untuk terus mengikuti perkembangan profesi akuntansi, termasuk di antaranya pernyataan-pernyataan akuntansi, auditing dan peraturan lainnya, baik nasional maupun internasional yang relevan.
·         Anggota harus menerapkan suatu program yang dirancang untuk memastikan terdapatnya kendali mutu atas pelaksanaan jasa profesional yang konsisten dengan standar nasional dan internasional.
  1. Kompetensi menunjukkan terdapatnya pencapaian dan pemeliharaan suatu tingkatan pemahaman dan pengetahuan yang memungkinkan seorang anggota untuk memberikan jasa dengan kemudahan dan kecerdikan. Dalam hal penugasan profesional melebihi kompetensi anggota atau perusahaan, anggota wajib melakukan konsultasi atau menyerahkan klien kepada pihak lain yang lebih kompeten. Setiap anggota bertanggungjawab untuk menentukan kompetensi masing-masing atau menilai apakah pendidikan, pengalaman dan pertimbangan yang diperlukan memadai untuk tanggung jawab yang harus dipenuhinya.
  2.  Anggota harus tekun dalam memenuhi tanggung-jawabnya kepada penerima jasa dan publik. Ketekunan mengandung arti pemenuhan tanggung-jawab untuk memberikan jasa dengan segera dan berhati-hati, sempurna dan mematuhi standar teknis dan etika yang berlaku.
  3. Kehati-hatian profesional mengharuskan anggota untuk merencanakan dan mengawasi secara seksama setiap kegiatan profesional yang menjadi tanggung-jawabnya.
Prinsip Keenam – Kerahasiaan
Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa professional dan tidak boleh memakai atau menggungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban professional atau hukum untuk mengungkapkan.
  1. Anggota mempunyai kewajiban untuk menghormati kerahasiaan informasi tentang klien atau pemberi kerja yang diperoleh melalui jasa profesional yang diberikannya. Kewajiban kerahasiaan berlanjut bahkan setelah hubungan antara anggota dan klien atau pemberi kerja berakhir.
  2. Kerahasiaan harus dijaga oleh anggota kecuali jika persetujuan khusus telah diberikan atau terdapat kewajiban legal atau profesional untuk mengungkapkan informasi.
  3. Anggota mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa staf di bawah pengawasannya dan orang-orang yang diminta nasihat dan bantuannya menghormati prinsip kerahasiaan.
  4. Kerahasiaan tidaklah semata-mata masalah pengungkapan informasi. Kerahasiaan juga mengharuskan anggota yang memperoleh informasi selama melakukan jasa profesional tidak menggunakan atau terlihat menggunakan informasi tersebut untuk keuntungan pribadi atau keuntungan pihak ketiga.
  5. Anggota yang mempunyai akses terhadap informasi rahasia ten tang penerima jasa tidak boleh mengungkapkannya ke publik. Karena itu, anggota tidak boleh membuat pengungkapan yang tidak disetujui (unauthorized disclosure) kepada orang lain. Hal ini tidak berlaku untuk pengungkapan informasi dengan tujuan memenuhi tanggung jawab anggota berdasarkan standar profesional.
  6. Kepentingan umum dan profesi menuntut bahwa standar profesi yang berhubungan dengan kerahasiaan didefinisikan dan bahwa terdapat panduan mengenai sifat dan luas kewajiban kerahasiaan serta mengenai berbagai keadaan di mana informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dapat atau perlu diungkapkan.
  7. Berikut ini adalah contoh hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam menentukan sejauh mana informasi rahasia dapat diungkapkan.
a.       Apabila pengungkapan diizinkan. Jika persetujuan untuk mengungkapkan diberikan oleh penerima jasa, kepentingan semua pihak termasuk pihak ketiga yang kepentingannya dapat terpengaruh harus dipertimbangkan.
b.      Pengungkapan diharuskan oleh hukum. Beberapa contoh di mana anggota diharuskan oleh hukum untuk mengungkapkan informasi rahasia adalah:
·         untuk menghasilkan dokumen atau memberikan bukti dalam proses hukum;
·         untuk mengungkapkan adanya pelanggaran hukum kepada publik.

c.   Ketika ada kewajiban atau hak profesional untuk mengungkapkan:
·         untuk mematuhi standar teknis dan aturan etika; pengungkapan seperti itu tidak bertentangan dengan prinsip etika ini;
·         untuk melindungi kepentingan profesional anggota dalam sidang pengadilan;
·         untuk menaati peneleahan mutu (atau penelaahan sejawat) IAI atau badan profesionallainnya; dan untuk menanggapi permintaan atau investigasi oleh IAI atau badan pengatur.
Prinsip Ketujuh – Perilaku Profesional
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. Kewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi harus dipenuhi oleh anggota sebagai perwujudan tanggung jawabnya kepada penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staf, pemberi kerja dan masyarakat umum.
Prinsip Kedelapan – Standar Teknis
Setiap anggota harus melaksanakan jasa professional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan hati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan objektivitas. Standar teknis dan standar profesional yang hams ditaati anggota adalah standar yang dikeluarkan oleh lkatan Akuntan Indonesia, International Federation of Accountants, badan pengatur, dan peraturan perundang-undangan yang relevan.