Hari Minggu (10/7) lalu, saya membaca
tulisan kenalan saya Yuswohady di harian
Seputar Indonesia (Sindo ). Judulnya “Candu
Kartu Kredit”. Tulisan yang berdasarkan
observasi sang penulis itu intinya menyoroti
kebiasaan sebagian masyarakat kelas
menengah kita. Mereka yang disebutnya
dengan istilah “Consumer 3000” itu seringkali
kalap saat menggunakan kartu kredit, apalagi
di musim liburan yang baru berlalu. Pusat
perbelanjaan yang mengetahui fenomena ini
sengaja pula memberikan gimmick berupa
discount. Maka, kloplah sudah fenomena
kecanduan kartu kredit tersebut.
Yuswo mensinyalir, kecanduan tersebut terjadi
karena aktivitas berbelanja dan membayar
seolah “terlepas”. Di kalangan behavioral
economist, fenomena ini disebut “decoupling .”
Sebabnya memang karena adanya penundaan
pembayaran. Beli sekarang, membayarnya
bulan depan. Itulah kenapa namanya kartu
kredit. Saya sendiri menyebutnya “kartu
ngutang”.
Seakan “mestakung” (semesta mendukung,
meminjam istilah Prof. Yohanes Surya), tugas
kuliah S-2 partner saya adalah merancang
strategi komunikasi launching kartu kredit di
tahun 1991. Karena saya pernah jadi praktisi
komunikasi dan juga sekitar 1,5 tahun jadi
dosen komunikasi, ia berkonsultasi dengan
saya meski sebenarnya saya cuma bisa
memberi saran sekadarnya. Dalam case study
berjudul “Citibank: Launching the Credit Card
in Asia Pacific” (Harvard Business School
9-595-026. Rev March 21,1995) tersebut,
dituliskan dalam analisanya bahwa untuk
memperkenalkan kartu kredit ke Asia, salah
satunya justru harus dilakukan diversifikasi
atau pembedaan antara “kredit” dan
“berhutang”. Karena di banyak negara Asia
Pasifik saat itu -20 tahun lalu- banyak
warganya yang tidak mau berhutang. Tidak
hanya di Indonesia, seperti di Taiwan pun
masyarakatnya anti berhutang dan terbiasa
dengan uang tunai.
Nah, kalau kita lihat situasi sekarang, berarti
strategi komunikasi dan pemasaran 20 tahun
lalu itu berhasil. Fenomena decoupling itu
memang sengaja dikondisikan oleh pihak
penerbit kartu kredit atau bank. Masyarakat
berhasil di- brainwash (cuci otak) dan diubah
culture-nya dalam hal penggunaan uang
sebagai alat tukar transaksi pembayaran. Pola
kebiasaaan belanja konsumen pun diubah
dengan pencitraan luar biasa, mengkaitkan
belanja sebagai sebuah life style (gaya hidup)
. Kelas menengah baru yang dalam istilah
Yuswohady disebut “Consumer 3000” yang
sejatinya merupakan OKB (Orang Kaya Baru)
tentu ngebet ingin menikmatinya. Karena baru
saja melakukan social climbing (pendakian
status sosial), jelas life style menggunakan
kartu kredit merupakan salah satu yang
diincar. Apalagi, karena kepentingan
mendapatkan sebanyak mungkin nasabah,
bank malah berlomba-lomba mempermudah
persyaratan memiliki “kartu ngutang” ini. Tak
peduli berapa banyak yang kemudian akan
default atau gagal bayar, yang penting potensi
meraup keuntungan makin besar. Nyatanya,
meski ada beberapa yang ngemplang bahkan
hingga berurusan dengan debt collector
hingga ke polisi sekali pun, yang patuh dan
rajin membayar justru lebih banyak. Karena
pada dasarnya kita sebagai manusia kan
memang tidak mau “cari masalah” toh ? Jadi,
bank penerbit kartu kredit rupanya masih
untung besar.
Karena penerbitan kartu kredit merupakan
bagian dari regulasi perbankan yang diatur
pemerintah, kita sebagai konsumen tentu tak
bisa apa-apa. Andaikatapun konsumen
menyadari “jebakan Badman (iya, bukan
Batman)” itu, tak ada yang bisa dilakukan.
Demonstrasi Bersih 2.0 ala Malaysia pun tak
bakal digelar karena alasan memprotes
keberadaan kartu kredit kan?
Maka, satu-satunya cara adalah “memperkuat
iman”. Lho ? Iya, karena hanya dengan “iman
yang tebal” kita bisa membentengi diri dari
kebiasaan belanja konsumen yang kalap
menggunakan kartu kredit. Iman di sini bukan
berarti kepada agama saja, namun justru
dalam konteks “kepercayaan dan keyakinan
yang kuat di dalam hati dan pikiran” kepada
sesuatu hal. Kita harus membongkar
paradigma dari pihak bank penerbit kartu
kredit yang mengatakan itu bukan “kartu
ngutang”. Kalau memang punya uang, hampir
semua financial planner berkata senada,
jadikan kartu kredit seperti kartu debet. Begitu
tagihan datang, lunasi semua, bukan cuma
minimum payment-nya. Atau minimal seperti
saran sobat saya Mike Rini dalam bukunya
120 Solusi Mengelola Keuangan Pribadi
(2006:232), bayar cicilan tagihan dengan
jumlah lebih besar dari minimum payment.
Tanpa kita sadari sebenarnya bunga ( interest)
kartu kredit itu besar, sekitar 30 % per tahun.
Artinya, barang yang kita beli sekarang namun
bayarnya nyicil itu lebih mahal 30 % daripada
beli tunai, atau ditambah 1/3 dari harga
aslinya. Lebih memberatkan lagi, bunga yang
dibebankan kemudian masuk pula ke pokok
hutang. Sehingga terjadilah bunga-berbunga.
Bila selalu membayar di bawah minimum
payment, niscaya makin lama hutang kartu
kredit makin menumpuk.
Intinya, “iman” kita harus terus-menerus
dipertebal dengan mengingat kondisi nyata
keuangan kita. Jangan seperti kata pepatah
“lebih besar pasak daripada tiang”. Lebih baik
sekedar “ingin merengkuh gunung, apa daya
tangan tak sampai”. Ingin belanja sih
silahkan saja. Tapi ingat-ingat
konsekuensinya. Karena kartu kredit adalah
“kartu ngutang”, pasti si pemilik uang akan
menagih piutangnya kan? Jadi, jangan belanja
bila tak ada uangnya. Jangan anggap kartu
kredit sebagai “dana tambahan” atas
penghasilan Anda. Melainkan semata sebagai
alternatif cara pembayaran saja, daripada
harus membawa uang tunai dalam jumlah
besar ke mana-mana. Kita harus selalu ingat,
bahwa “kredit” itu sama persis dengan
“hutang”. Oke?
Sumber: lifeschool.wordpress.com/2011/07/12/kartu-kredit-kebiasaan-belanja-konsumen/
Analisa :Tulisan ini merupakan tanggapan penulis terhadap tulisan Yuswohadi di Harian Kompas. Besarnya masyarakat yang mempunyai kartu kredit saat ini merupakan tipu daya perusahaan dan bank. Karena seolah-olah memberikan kemudahan dan hal menarik pada masyarakat yang memang pada saat ini tingkat kebutuhannya dan mobilitas nya mulai naik. Penulis juga menuliskan ketidak sukaan nya dengan menuliskan kekurangan kartu kredit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar