VIVAnews --Bantuan Langsung Sementara
Masyarakat (BLSM) atau seringkali disebut
“balsem” sebagai bagian dari program
kompensasi kenaikan harga BBM sudah mulai
dikucurkan di beberapa daerah.
Sebanyak 15,5 juta rumah tangga akan
menerima Rp150.000 per bulan selama empat
bulan, yang dikucurkan dalam dua tahap. Kritik
menyebutkan kompensasi sebesar itu terlalu
kecil. Argumennya, Rp150.000 per bulan
ekuivalen dengan Rp5.000 per hari, yang
hanya cukup untuk makan sekali seorang.
Argumen ini meskipun masuk akal,
sesungguhnya kurang tepat.
Arti Rp150.000
Pertama, 15,5 juta rumah tangga penerima
BLSM adalah rumah tangga dengan status
kesejahteraan 25 persen termiskin. Rata-rata
pengeluaran rumah tangga ini hanyalah
Rp930.000 per bulan (Susenas 2012). Ini
berarti uang BLSM mencapai 16 persen dari
belanja bulanan mereka.
Susenas juga mencatat, dalam sebulan rata-
rata Rp163.000 dibelanjakan untuk membeli 24
kilogram beras. Dengan demikian, uang BLSM
sebesar Rp150.000 dapat digunakan untuk
membeli beras guna keperluan konsumsi
hampir sebulan. Jumlah ini tentu sangat
berarti bagi rumah tangga penerima BLSM.
Kedua, BLSM dimaksudkan untuk menjaga
daya beli rumah tangga dari dampak
inflasioner kenaikan harga BBM, dengan
mengasumsikan jumlah maupun jenis barang
yang dikonsumsi tetap. Misalnya, rumah
tangga sasaran rata-rata mengkonsumsi
minyak goreng 2 liter per bulan. Harga minyak
goreng Rp11.000 per liter.
Bila kenaikan harga BBM menyebabkan harga
minyak goreng naik 10 persen, maka besarnya
kompensasi untuk minyak goreng adalah
Rp2.200 sebulan (2 x Rp1.100). Begitu juga
dengan ikan asin, yang umum dikonsumsi oleh
rumah tangga miskin.
Bila rumah tangga mengkonsumsi 6 ons ikan
teri asin per bulan, dan harga teri Rp3.000 per
ons, maka, besarnya kompensasi untuk ikan
asin adalah Rp900 sebulan ketika harga ikan
asin naik 5 persen (Rp150 per ons) akibat
BBM. Demikian seterusnya. Semua kenaikan
pengeluaran ini kemudian dijumlah
(Rp2.200+Rp900+…). Angka ini kurang
lebihnya sama dengan inflasi barang-barang
konsumsi rumah tangga miskin dikalikan rata-
rata pengeluaran bulanannya. Jumlah inilah
angka BLSM per bulan.
Jadi, dalam konsep perhitungannya, BLSM
tidak dimaksudkan untuk tambahan konsumsi
baru. Meskipun demikian, rumah tangga
penerima bisa saja mengalokasikan uang
BLSM untuk berbagai kebutuhan mereka,
seperti obat, seragam sekolah, gula pasir, atau
susu bayi.
Studi Bank Dunia dan SMERU terhadap BLT
2005 dan 2008 menemukan bahwa dana BLT
(nama lama BLSM) habis dalam waktu
seminggu untuk membeli kebutuhan pokok,
seperti beras, minyak tanah, membayar utang,
kesehatan, pendidikan, dan menambah modal.
Ketiga, Penulis yakin bahwa para pengamat,
ekonom, dan politisi di negeri ini bukanlah
bagian dari kaum papa Republik ini. Karena
itulah, bagaimana kita mempersepsikan arti
Rp150.000 akan berbeda dengan mereka, para
penerima BLSM.
Teori ekonomi meyakini bahwa tambahan uang
sejumlah tertentu akan lebih berarti bagi
mereka yang miskin daripada yang kaya
( diminishing marginal utility of money ).
Susenas misalnya, mencatat bahwa rumah
tangga 25 persen termiskin rata-rata hanya
makan telur sebutir sehari, padahal mereka
rata-rata memiliki 3 anggota keluarga.
Bahkan untuk tahu dan tempe yang kita
anggap sebagai makanan rakyat, mereka
hanya membelanjakan Rp7.200 per
minggunya. Dengan statistik ini, tampak
membelanjakan Rp5.000 sekali makan seorang
di warung adalah barang mewah bagi mereka.
Padahal bagi orang Jakarta, jumlah ini hanya
bisa untuk sekali parkir. Bagi rumah tangga
miskin, uang Rp5.000 bisa digunakan untuk
membeli setengah liter beras, untuk dua kali
makan sekeluarga—bahkan lebih, bila yang
dibeli adalah beras Raskin yang harganya
hanya Rp1.600 per kilogram.
Membuat malas?
Terkait dengan tudingan BLSM membuat
masyarakat malas, studi Bank Dunia dan
SMERU tidak menemukan bukti bahwa BLT
mengurangi total jam kerja. Masyarakat
penerima BLT umumnya tahu bahwa BLT
jumlahnya terbatas dan sifatnya sementara,
sehingga tidak mungkin menggantungkan
hidup dari BLT.
Jumlah jam kerja orang miskin memang lebih
rendah daripada jumlah jam kerja rata-rata
nasional, namun ini lebih disebabkan oleh sifat
dari pekerjaan mereka. Buruh tani misalnya,
hanya bekerja di musim tanam atau panen.
Demikian juga halnya dengan nelayan, yang
hanya melaut ketika cuaca mendukung, kuli
bangunan, buruh perkebunan, buruh angkut,
atau pekerja serabutan.
Dengan waktu kerja yang tidak tetap, ditambah
tingkat upah hariannya yang rendah (misalnya,
gaji buruh tani Rp41.000 per hari), tak heran
bila keluarga miskin seringkali berutang
sembako ke warung untuk mencukupi
kebutuhannya sehari-hari.
Dengan gambaran kehidupan ekonomi
masyarakat bawah seperti ini, ironis bila kita
mengatakan Rp150.000 itu terlalu kecil bagi
mereka. Sementara, secara terang-terangan
kita menyaksikan pada saat harga BBM akan
dinaikkan, banyak mobil dan sepeda motor rela
mengantri berjam-jam demi Rp10.000 hingga
Rp150.000.
Padahal para pemilik kendaraan ini tiap bulan
sudah “menerima uang” subsidi BBM,
sedangkan mereka yang miskin dan tidak
punya kendaraan, tidak menerima apa-apa.
Sumber : Denni Puspa Purbasari, Pengajar Fakultas
Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta. ( us.m.news.viva.co.id/news/read/429056-blsm--kita--dan-mereka )
Analisis : Melalui tulisan ini penulis ingin membatah argumen kritikus yang menyebutkan dana BLSM sebesar Rp 150.000;00 masih terlalu kecil. Penulis menggunakan teori ekonomi dan data data yang tersedia untuk melakukan metode penelitian. Begitu pula dengan pendapat kritikus yang menyebutkan BLSM membuat malas, hal ini langsung dibantah oleh penulis dengan melakuan pengamatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar